Aktifkan javascript dibrowser anda karena ada pesan penting dari pemilik blog ini... ~Welcome To Oke Bowo~: Maret 2012 -->

Laman

02 Maret, 2012

Membangun Karakter Guru Yang Dicintai Anak-Anak


Sikap seorang guru terhadap muridnya merupakan bagian penting dalam menunjang keberhasilan mendidik murid-muridnya.  Seringkali guru bertanya apakah saya menjadi guru yang baik? Bagaimana menjadi guru yang baik?
Guru bukanlah sekadar pekerjaan, tetapi sebuah profesi.  Namun pada kenyataannya tak jarang kita menemukan guru yang tidak sesuai dengan profesinya sebagai guru.  Sering di media massa diberitakan sikap guru yang tidak wajar terhadap muridnya bahkan cenderung sadis.  Memang dilema seorang guru yang di sisi lain harus tetap menunjukkan sikap profesional, tegas dan berwibawa, namun juga diharapkan sikap guru lembut, telaten dan sabar. 
Definisi guru yang baik selalu diuji para administrator pendidikan, pemerintah atau pakar pendidikan.  Masyarakat dalam hal ini orang tua bahkan media juga memiliki harapan-harapan mereka masing-masing. Akan tetapi, jarang anak-anak sebagai penerima layanan pendidikan, ditanya apa pendapat mereka mengenai hal ini.  Pada kenyataannya, anak-anak merupakan alasan munculnya profesi guru dan melalui mereka pulalah profesi ini mendapat nilai yang berharga.  
Menjadi guru adalah sebuah seni.  Menjadi guru yang baik itu melibatkan panggilan, kemampuan intelektual dan penguasaan materi, karakter, talenta dan kemampuan berkomunikasi.  Namun dari semua itu, yang terpenting adalah karakter.  
Seorang guru bisa diibaratkan sebagai seorang gembala.  Ia tak hanya sekadar mengenal nama murid-muridnya saja, namun lebih dari itu guru mengenal kepribadian dan latar belakang mereka dengan sangat baik.  Dengan demikian guru yang baik berarti sangat menyadari perbedaan antar anak-anak, beragamnya cara mereka belajar, dan paham metode dalam menghadapi perbedaan itu untuk mendorong siswa mampu belajar.  Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tentu saja tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah.
Tak hanya itu, selayaknya seorang gembala, guru bertanggung jawab penuh untuk menjaga merawat murid-muridnya. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, namun juga tegas, tidak otoriter serta luwes dalam perilaku.  Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak!
Bagaikan domba-domba yang mempercayakan diri kepada gembalanya, murid-murid akan merasa diterima dan makin percaya kepada gurunya.  Hubungan yang dekat antara guru dan murid akan menghasilkan sikap hormat, sayang dan terbuka.  Murid tidak ragu untuk bertanya serta mencurahkan isi hati tanpa sungkan dan takut.
Dalam membangun karakter guru yang dicintai anak-anak, kita hanya bisa belajar dari teladan Guru Agung, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus tak hanya menganggap murid-muridNya sebagai naradidik semata.  Namun lebih dari itu, Yesus menganggap murid-muridNya sebagai sahabatNya yang memahami pribadi masing-masing muridNya dengan sangat baik. 


Sumber http://anakbersinar.com

01 Maret, 2012

Kisah Andoy Anak Yang Slalu Bersyukur


Kisah Andoy Anak Yang Slalu Bersyukur



Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur (Filipina) yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya di mana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan. Setiap kali berhasil menyeberangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke gereja setiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan. Tindakannya selama ini diamati oleh seorang pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.

"Bagaimana kabarmu Andoy? Apakah kamu akan ke sekolah?"
"Ya, Bapa Pendeta!" balas Andoy dengan senyumnya yang menyentuh hati pendeta tersebut.
Pendeta itu begitu memperhatikan keselamatan Andoy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut, "Jangan menyeberang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah kamu boleh mampir ke gereja dan saya akan menemani kamu ke seberang jalan. Jadi dengan cara tersebut saya bisa memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat."
"Terima kasih, Bapa Pendeta."
"Kenapa kamu tidak pulang sekarang?"
"Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan... sahabatku."
Dan pendeta itu segera meninggalkan Andoy untuk melewatkan waktunya di depan altar berbicara sendiri, tapi kemudian pendeta tersebut bersembunyi di balik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andoy kepada Bapa di surga.
"Engkau tahu Tuhan, ujian Matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terima kasih buat kue ini Tuhan! Aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya. Lucunya, aku nggak begitu lapar. Lihat, ini sepatuku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa. Paling tidak aku tetap dapat pergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah. Tolong bantu mereka supaya bisa sekolah lagi, tolong Tuhan. Oh ya, Engkau tahu ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang ibu. Tuhan, Engkau mau lihat lukaku? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkannya, di sini... di sini... aku rasa Engkau tahu yang ini kan? Tolong jangan marahi ibuku, ya. Dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku. Itulah mengapa dia memukul kami. Oh Tuhan, aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang cantik di kelasku, namanya Anita... menurut Engkau apakah dia akan menyukaiku? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkan-Mu. Engkau adalah sahabatku.
Hei, ulang tahun-Mu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untuk-Mu. Tapi ini kejutan bagi-Mu. Aku berharap Engkau akan menyukainya. Ooops, aku harus pergi sekarang."
Kemudian Andoy segera berdiri dan memanggil pendeta itu, "Bapa Pendeta, Bapa Pendeta, aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyeberang jalan sekarang."
Kegiatan tersebut berlangsung setiap hari, Andoy tidak pernah absen sekalipun. Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah... suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.


Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja diserahkan pengelolaannya kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka. Mereka sedang berlutut memegangi rosario mereka ketika Andoy tiba dari pesta Natal di sekolahnya, dan mulai berdoa,

Andoy : "Halo Tuhan, Aku..."
4 Wanita tua : itu berkata "Kurang ajar kamu bocah! Tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa? Keluar!"

Andoy begitu terkejut, "Di mana Bapa Pendeta Agaton? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya, dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus - ini hari ulang tahun-Nya, aku punya hadiah untuk-Nya."
Ketika Andoy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar gereja. Sambil membuat tanda salib ia berkata, "Keluarlah bocah... atau kamu akan dihukum!"
Oleh karena itu Andoy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan Gereja. Dia mulai menyeberang, ketika tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang - di situ ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andoy melindungi hadiah tersebut di dalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya tidak cukup untuk menghindar... dan Andoy tewas seketika. Orang-orang di sekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tak bernyawa.
Tiba-tiba, entah muncul darimana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut namun penuh dengan air mata datang dan memeluk tubuh bocah malang tersebut. Dia menangis.
Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya, "Maaf Tuan, apakah anda keluarga bocah malang ini? Apakah anda mengenalnya?" Pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam segera berdiri dan berkata, "Dia adalah sahabatku." Hanya itulah yang dia katakan. Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam baju bocah malang tersebut dan menaruhnya di dadanya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah malang tersebut dan keduanya kemudian menghilang. Kerumunan orang tersebut semakin penasaran.


Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan. Dia berkunjung ke rumah Andoy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andoy.
"Bagaimana anda mengetahui putera anda meninggal?"
"Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari," ucap ibu Andoy terisak.
"Apa katanya?"
Ayah Andoy berkata, "Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andoy sepertinya dia begitu mengenal Andoy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andoy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya kemudian dia membisikkan sesuatu."
"Apa yang dia katakan?"
"Dia berkata kepada puteraku," ujar sang ayah, "terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku."
Dan sang Ayah melanjutkan, "Anda tahu kemudian, semuanya itu terasa begitu indah. Aku menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu aku menangis karena bahagia. Aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika dia meninggalkan kami ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku. Aku tidak dapat melukiskan sukacita di dalam hatiku. Aku tahu puteraku sudah berada di surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku, Bapa Pendeta, siapakah pria ini yang selalu bicara dengan puteraku setiap hari di gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu berada di sana setiap hari, kecuali pada waktu puteraku meninggal."
Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes di pipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik, "Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa... kecuali dengan Tuhan."